loading...
Pada 1824 terjadi kehebohan di Keraton Surakarta. Seorang selir, dengan memainkan peran maskulin, kedapatan berhubungan seks dengan selir lainnya. Pakubuwono V juga menemukan para selirnya melakukan masturbasi bersama dengan menggunakan lilin yang dibentuk seperti alat kelamin laki-laki. Skandal itu, sebagaimana dikutip Saskia Wieringa dan Evelyn Blackwood dalam antologi Hasrat Perempuan, dicatat penerjemah Belanda yang dekat dengan kalangan keraton Surakarta, JW Winter, pada 1902.
Hal ini tidak mengherankan setelah membaca arsip sejumlah kakawin, syair-syair dalam bahasa Jawa Kuno, seperti Kresnayana, Gatotkacasraya, dan Sutasoma yang membahas banyak aspek kehidupan para perempuan keraton.
Lebih jelas lagi setelah membaca kakawin Hariwangsa karena agak eksplisit menggambarkan interaksi seksual sesama perempuan. Ini dapat dilihat dalam adegan Dewi Rukmini mencari penghiburan kepada Kesari, perempuan yang menjadi sahabat dekatnya sejak masa kanak-kanak.
Yang menarik, meski keraton seolah tak mengakui keberadaanya, tapi bentuk-bentuk transgenderisme bukan sesuatu yang asing. Dalam epos Mahabarata dikisahkan bahwa Srikandi terlahir sebagai seorang perempuan, Dewi Amba. Bisma menolak Amba sebagai calon istrinya. Sakit hati, dia memohon kepada dewata. Doa itu dikabulkan, dia terlahir kembali sebagai Srikandi. Sebuah suara membisikkan kepada orang tuanya agar Srikandi dididik sebagai laki-laki. Orangtuanya memenuhi bisikan itu. Srikandi hidup sebagai laki-laki, dan suatu hari menikah. Tapi istrinya mencemoohnya ketika tahu Srikandi seorang perempuan. Srikandi patah arang, nyaris bunuh diri. Untunglah dia bertemu seorang pendeta yang kemudian memberinya kelamin laki-laki. Dia kembali ke istrinya, sudah jadi laki-laki, dan kemudian beroleh keturunan. Saat meninggal barulah dia kembali menjadi perempuan.
loading...
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »