loading...
Wanita Jawa, selalu digambarkan malu-malu, pendiam, sopan, sangat
berbakti pada suami, dan tabu ketika membicarakan masalah kehidupan
seksualnya. Namun tidak demikian halnya kalau kita membuka Serat
Centhini, yang merupakan Kamasutra Jawa, yang mengupas masalah itu
dengan lebih blak-blakan. Cetho melo-melo, yaitu jelas sejelas-jelasnya.
Memang, kalau kita bicara soal seks dan seksualitas, mungkin lebih mengenal Kamasutra dari India daripada Serat Centhini, karya sástra Jawa kuno, yang dirilis di awal abad ke-19. Padahal versi lokal ini dipercaya jauh lebih lengkap dan “menantang”. Tak ada yang bisa memungkiri, urusan seks dari abad ke abad selalu saja menarik untuk dibicarakan. Entah dengan bisik-bisik di antara kaum lelaki di warung kopi, atau di antara kaum perempuan di sela-sela arisan. Adakalanya dibicarakan secara terbuka tapi terbatas, seperti di ruang seminar atau kesempatan formal lainnya.
Seks dan seksualitas, dalam pengertian sempit maupun luas, merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Ia bagian dari naluri instingtif yang paling dasar. Tak heran kalau banyak upaya dilakukan untuk mempelajari, menganalisis, menyusun panduan, atau mengungkapkannya lewat karya sastra maupun karya tulis lainnya sejak dahulu kala.
Di tanah Jawa pada awal abad ke-19 muncul sebuah karya sastra yang terkenal hingga kini, yaitu Serat Centhini (nama resminya Suluk Tembangraras). Serat ini digubah pada sekitar 1815 oleh tiga orang pujangga istana Keraton Surakarta, yaitu Yasadipura 11, Ranggasutrasna, dan R. Ng. Sastradipura (Haji Ahmad Ilhar) atas perintah K.G.P.A.A. Amengkunegara II atau Sinuhun Paku Buwana V. Serat Centhini yang terdiri atas 722 tembang (lagu Jawa) itu antara lain memang bicara soal seks dan seksualitas. Justru karena itulah serat ini menjadi terkenal, bahkan di kalangan para pakar dunia.
Meski kebudayaan Jawa di masa kejayaan keraton bersifat represif-feodalistik, demikian tulis Otto Sukatno CR dalam Seks Para Pangeran: Tradisi dan Ritualisasi Hedonisme Jawa (Bentang, 2002), namun dalam bidang seksual ternyata sangat jauh dari apa yang kita bayangkan. Masalah seksualitas muncul dalam ekspresi seni, terutama sastra dan tari.
Dalam Serat Centhini, misalnya, masalah seksual ternyata menjadi tema sentral yang diungkap secara verbal dan terbuka, tanpa tedeng aling-aling. Bahkan, masalah seksual dalam serat itu diungkapkan dalam berbagai versi dan kasus.
Bahkan seks juga dibicarakan dalam kaitannya dengan penikmatan hidup atau pelampiasan hasrat hedonisme yaitu sebuah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kenikmatan adalah kebaikan tertinggi, atau satu-satunya kebaikan dalam kehidupan.
Dalam Centhini II (Pupuh Asmaradana) diuraikan dengan gamblang soal “ulah asmara” yang berhubungan dengan lokasi genital yang sensitif dalam kaitannya dengan permainan seks. Misalnya, cara membuka atau mempercepat orgasme bagi perempuan, serta mencegah agar lelaki tidak cepat ejakulasi. Lalu dalam Centhini IV (Pupuh Balabak) diuraikan secara blak-blakan bagaimana pratingkahing cumbana yaitu gaya persetubuhan, serta sifat-sifat perempuan dan bagaimana cara membangkitkan nafsu asmaranya.
Terungkap juga ternyata perempuan tidak selamanya bersikap lugu, pasif dalam masalah seks sebagaimana stereotipe pandangan Jawa yang selama ini kita terima. Mereka juga memiliki kebebasan yang sama dalam mengungkapkan pengalaman seksualnya. Padahal selama ini penggambaran wanita Jawa selalu bersifat pasrah, dan nrima kepada lelaki. Bahkan pemalu dan tertutup.
Hal itu tampak dalam Centhini V (Dhandhanggula). Di ruang belakang di rumah pengantin perempuan pada malam menjelang hari H perkawinan antara Syekh Amongraga dan Nike Tembangraras, para perempuan tua-muda sedang duduk-duduk sambil ngobrol. Ada yang membicarakan pengalamannya dinikahi lelaki berkali-kali, pengalaman malam pertama, serta masalah-masalah seksual lainnya yang membuat mereka tertawa cekikikan.
*Disarikan dari harian Suara Merdeka
Memang, kalau kita bicara soal seks dan seksualitas, mungkin lebih mengenal Kamasutra dari India daripada Serat Centhini, karya sástra Jawa kuno, yang dirilis di awal abad ke-19. Padahal versi lokal ini dipercaya jauh lebih lengkap dan “menantang”. Tak ada yang bisa memungkiri, urusan seks dari abad ke abad selalu saja menarik untuk dibicarakan. Entah dengan bisik-bisik di antara kaum lelaki di warung kopi, atau di antara kaum perempuan di sela-sela arisan. Adakalanya dibicarakan secara terbuka tapi terbatas, seperti di ruang seminar atau kesempatan formal lainnya.
Seks dan seksualitas, dalam pengertian sempit maupun luas, merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Ia bagian dari naluri instingtif yang paling dasar. Tak heran kalau banyak upaya dilakukan untuk mempelajari, menganalisis, menyusun panduan, atau mengungkapkannya lewat karya sastra maupun karya tulis lainnya sejak dahulu kala.
Di tanah Jawa pada awal abad ke-19 muncul sebuah karya sastra yang terkenal hingga kini, yaitu Serat Centhini (nama resminya Suluk Tembangraras). Serat ini digubah pada sekitar 1815 oleh tiga orang pujangga istana Keraton Surakarta, yaitu Yasadipura 11, Ranggasutrasna, dan R. Ng. Sastradipura (Haji Ahmad Ilhar) atas perintah K.G.P.A.A. Amengkunegara II atau Sinuhun Paku Buwana V. Serat Centhini yang terdiri atas 722 tembang (lagu Jawa) itu antara lain memang bicara soal seks dan seksualitas. Justru karena itulah serat ini menjadi terkenal, bahkan di kalangan para pakar dunia.
Meski kebudayaan Jawa di masa kejayaan keraton bersifat represif-feodalistik, demikian tulis Otto Sukatno CR dalam Seks Para Pangeran: Tradisi dan Ritualisasi Hedonisme Jawa (Bentang, 2002), namun dalam bidang seksual ternyata sangat jauh dari apa yang kita bayangkan. Masalah seksualitas muncul dalam ekspresi seni, terutama sastra dan tari.
Dalam Serat Centhini, misalnya, masalah seksual ternyata menjadi tema sentral yang diungkap secara verbal dan terbuka, tanpa tedeng aling-aling. Bahkan, masalah seksual dalam serat itu diungkapkan dalam berbagai versi dan kasus.
Bahkan seks juga dibicarakan dalam kaitannya dengan penikmatan hidup atau pelampiasan hasrat hedonisme yaitu sebuah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kenikmatan adalah kebaikan tertinggi, atau satu-satunya kebaikan dalam kehidupan.
Dalam Centhini II (Pupuh Asmaradana) diuraikan dengan gamblang soal “ulah asmara” yang berhubungan dengan lokasi genital yang sensitif dalam kaitannya dengan permainan seks. Misalnya, cara membuka atau mempercepat orgasme bagi perempuan, serta mencegah agar lelaki tidak cepat ejakulasi. Lalu dalam Centhini IV (Pupuh Balabak) diuraikan secara blak-blakan bagaimana pratingkahing cumbana yaitu gaya persetubuhan, serta sifat-sifat perempuan dan bagaimana cara membangkitkan nafsu asmaranya.
Terungkap juga ternyata perempuan tidak selamanya bersikap lugu, pasif dalam masalah seks sebagaimana stereotipe pandangan Jawa yang selama ini kita terima. Mereka juga memiliki kebebasan yang sama dalam mengungkapkan pengalaman seksualnya. Padahal selama ini penggambaran wanita Jawa selalu bersifat pasrah, dan nrima kepada lelaki. Bahkan pemalu dan tertutup.
Hal itu tampak dalam Centhini V (Dhandhanggula). Di ruang belakang di rumah pengantin perempuan pada malam menjelang hari H perkawinan antara Syekh Amongraga dan Nike Tembangraras, para perempuan tua-muda sedang duduk-duduk sambil ngobrol. Ada yang membicarakan pengalamannya dinikahi lelaki berkali-kali, pengalaman malam pertama, serta masalah-masalah seksual lainnya yang membuat mereka tertawa cekikikan.
*Disarikan dari harian Suara Merdeka
loading...
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »